asal usul meriam bambu
Menurut sejarah meriam bambu ini di Nusantara, banyak versi. Namun referensi paling banyak digunakan, ketika Kesultanan Demak (1500-1555) untuk menyiarkan waktu berbuka puasa dengan membunyikan meriam tanpa peluru di ibukota kerajaan. Ibukota kerajaan itu, menghadap alun-alun (tanah lapang untuk berkumpulnya warga atau upacara tentara), di sampingnya ada Masjid Agung Demak.
Alasannya untuk menggunakan beduk (gendang ukuran jumbo) atau kentungan (bambu satu ruas, dilubangi tengah memanjang, dipukul dengan kayu akan menghasilkan bunyi), suaranya kurang terlalu nyaring. Apalagi tiap distrik, belum tentu memiliki ahli falaq (astronomi).
Memasuki Sir Thomas Stamford Raffles (Inggris) yang berhasil merebut Batavia (Jakarta) dari tangan Belanda-Prancis (kala itu Belanda dijajah Napoleon Bonaparte dari Prancis), pada tahun 1811 Masehi melarang penggunaan meriam untuk menandakan waktu berbuka puasa bagi kaum Muslim. Regulasi (peraturan) baru efektif tahun 1816, di bawah kendali operasi pemerintah kolonial Belanda yang merdeka dari penjajahan Napoleon Bonaparte.
Raffles juga melarang kepemilikan tentara regular di seluruh kerajaan lokal yang ada di wilayah Hindia Belanda. Alasannya kepemilikan mesiu membuat antarkerajaan suka berperang antarsesamanya, maupun melawan pemerintahan orang Eropa.
Nusantara sudah mengenal bubuk mesiu untuk meriam perang, sekitar tahun 1292 Masehi, saat tentara Mongol dari Dinasti Yuan menaklukkan Kerajaan Singasari (Jawa Timur). Demikian juga, saat Tentara Mongol berusaha menjajah Jepang sudah menggunakan meriam tahun 1284 Masehi. Meriam tangan maupun meriam besar tentara itu saat ini, tersimpan di musium Xian, Tiongkok.
Kepandaian menggunakan meriam dan panah, ekspansi tentara Mongol saat itu, berhasil menguasai kawasan terbentang dari perbatasan Korea, Vietnam, terus sampai ke Jerussalem (Israel), Iran, Irak, Moskow (Rusia), Bulgaria (Eropa Timur). Padahal di Timur Tengah saat itu terjadi Perang Salib (Tentara Eropa melawan Arab), memperebutkan Jerusalem. Dua tentara terhebat di dunia karena berperang karena perbedaan agama, harus takluk di tangan bangsa tidak beragama.
Tentara Salib (dominan tentara berkebangsaan Prancis, Inggris, dan Jerman), Arab, Tiongkok, Rusia, dan sebagian Eropa Timur, mampu diporak-porandakan tentara Mongol di masa jayanya. Namun tidak mampu menaklukkan Jepang, Korea, dan Indonesia (Singasari).
Hasil dari penjelajahan itu, membuat Arab dan Eropa mengenal mesiu dan meniru penggunaan senjata api maupun meriam.
Kemudian dimulai pengeboran minyak bumi di dunia. Pengeboran minyak pertama di Indonesia, yang dilakukan oleh J Reerink, tahun 1871 Masehi, hanya berselang 12 tahun setelah pengeboran minyak pertama di dunia oleh Kolonel Edwin L Drake dan William Smith de Titusville di negara bagian Pensilvania, Amerika Serikat.
Kilang Wonokromo pada tahun 1890-1891 untuk mengolah minyak mentah yang dihasilkan. Kilang ini merupakan yang tertua di Pulau Jawa.
Salah satu bahan sisa-sisa dari pengolahan minyak bumi, berupa minyak tanah. Kemudian diketahui warga di sekitar pengolahan minyak bumi, kalau salah satu hasil sisa-sisa olahan itu, menghasilkan minyak tanah. Kemudian ketika minyak tanah dibekam dan disulut api, mampu meledak. Jadilah meriam bambu. Anehnya, dimainkan hanya saat Ramadan dan awal Syawal (kalender Hijriah).
Pemerintah Belanda pernah melarang permainan itu, karena membahayakan, dan kurang mampu membedakan mana letupan meriam yang benar atau hanya mainan. Namun tetap saja dimainkan warga. Meriam Buloh bagian dari saksi teknologi militer sederhana yang untuk permainan belaka, bukan mesin pembunuh
Post a Comment